Selangkah Menuju Pernikahan


Assalamualaikum warahmatulahi wabarakatuh

Mungkin dari sekian banyak cerita yang kalian sudah baca pasti kalian bertanya-tanya mengapa saya tidak restui oleh orang tua saya untuk menikah dengan pasangan hidup yang saya pilih.


Pertama-tama setiap orang tua pastinya memiliki harapan dan impian untuk anak-anaknya, karena setiap anak adalah milik orang tuanya jadi saya rasa itu tidaklah salah.

Kedudukan orang tua yang tinggi dalam agama islampun tidak terbantahkan.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَاناً حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهاً وَوَضَعَتْهُ كُرْهاً وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْراً حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحاً تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo’a: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni’mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai. berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Qs. Al-Ahqaaf : 15)

Ayat diatas menjelaskan akan hak ibu terhadap anaknya. Ketahuilah, bahwasanya ukuran terendah mengandung sampai melahirkan adalah 6 bulan (pada umumnya adalah 9 bulan 10 hari), ditambah 2 tahun menyusui anak, jadi 30 bulan. Sehingga tidak bertentangan dengan surat Luqman ayat 14 (Lihat Tafsiir ibni Katsir VII/280)

وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun . Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Qs. Luqman : 14)

Dalam ayat ini disebutkan bahwa ibu mengalami tiga macam kepayahan, yang pertama adalah hamil, kemudian melahirkan dan selanjutnya menyusui. Karena itu kebaikan kepada ibu tiga kali lebih besar daripada kepada ayah. Sebagaimana dikemukakan dalam sebuah hadits,

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ :يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ، قَالَ أَبُوْكَ

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, belia berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.'” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548)

Imam Al-Qurthubi menjelaskan, “Hadits tersebut menunjukkan bahwa kecintaan dan kasih sayang terhadap seorang ibu, harus tiga kali lipat besarnya dibandingkan terhadap seorang ayah. Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menyebutkan kata ibu sebanyak tiga kali, sementara kata ayah hanya satu kali. Bila hal itu sudah kita mengerti, realitas lain bisa menguatkan pengertian tersebut. Karena kesulitan dalammenghadapi masa hamil, kesulitan ketikamelahirkan, dan kesulitan pada saat menyusui dan merawat anak, hanya dialami oleh seorang ibu. Ketiga bentuk kehormatan itu hanya dimiliki oleh seorang ibu, seorang ayah tidak memilikinya. (Lihat Tafsir Al-Qurthubi X : 239. al-Qadhi Iyadh menyatakan bahwa ibu memiliki keutamaan yang lebih besar dibandingkan ayah)

Begitu pula dengan Imam Adz-Dzahabi rahimahullaah, beliauberkata dalam kitabnya Al-Kabaair :
Ibumu telah mengandungmu di dalam perutnya selama sembilan bulan, seolah-olah sembilan tahun. Dia bersusah payah ketika melahirkanmu yang hampir saja menghilangkan nyawanya. Dia telah menyusuimu dari putingnya, dan ia hilangkan rasa kantuknya karena menjagamu. Dia cuci kotoranmu dengan tangan kirinya, dia lebih utamakan dirimu dari padadirinya serta makanannya. Dia jadikan pangkuannya sebagai ayunan bagimu. Dia telah memberikanmu semua kebaikan dan apabila kamu sakit atau mengeluh tampak darinya kesusahan yang luar biasa dan panjang sekali kesedihannya dan dia keluarkan harta untuk membayar dokter yang mengobatimu. Seandainya dipilih antara hidupmu dan kematiannya, maka dia akan meminta supaya kamu hidup dengan suaranya yang paling keras. Betapa banyak kebaikan ibu, sedangkan engkau balas dengan akhlak yang tidak baik. Dia selalu mendo’akanmu dengan taufik, baik secara sembunyi maupun terang-terangan. Tatkala ibumu membutuhkanmu di saat dia sudah tua renta, engkau jadikan dia sebagai barang yang tidak berharga di sisimu. Engkau kenyang dalam keadaan dia lapar. Engkau puas minum dalam keadaan dia kehausan. Engkau mendahulukan berbuat baik kepada istri dan anakmu dari pada ibumu. Engkau lupakan semua kebaikan yang pernah dia perbuat. Berat rasanya atasmu memeliharanya padahal itu adalah urusan yang mudah. Engkau kira ibumu ada di sisimu umurnya panjang padahal umurnya pendek. Engkau tinggalkan padahal dia tidak punya penolong selainmu. Padahal Allah telah melarangmu berkata ‘ah’ dan Allah telah mencelamu dengan celaan yang lembut. Engkau akan disiksa di dunia dengan durhakanya anak-anakmu kepadamu. Allah akan membalas di akhirat dengan dijauhkan dari Allah Rabbul ‘aalamin.

Disini saya sebagai penulis menerangkan bahwa begitu tingginya dan agungnya posisi Ibu di hadapan penulis, terlebih penulis adalah anak laki laki dan anak pertama dalam keluarga.


Saya tidak mendapatkan restu dari orang tua saya untuk menikah jelas karena hanya masalah perceraian, kebetulan Istri saya orang tuanya sudah bercerai. Ayahnya sudah menikah lagi dengan perempuan lain, dan Ibunya juga sudah menikah lagi dengan laki laki lain.

Mungkin orang tua khawatir karena background keluarga istri saya yang bercerai, akan menjadikan istri saya mudah mengatakan cerai. Naudzubilahiminzalik.

Akan tetapi karena kelemahan penulis sebagai manusia yang mencintai manusia lainnya, akhirnya saya memutuskan untuk berkonsultasi dengan orang yang paling kami hormati di keluarga besar, yaitu pak dhe atau kakaknya papa saya.



Chairil Anwar.

Sesuai dengan namanya, beliau adalah seorang kepala keluarga yang sudah pasti jelas memiliki landasan agama yang kuat, tegas namun tetap bijaksana yang saya rasa bisa membantu saya pada saat itu untuk menengahi antara saya dan orang tua, terlebih beliau adalah kakak kedua dari papa saya.

Dan beliau mensyaratkan saya untuk bertemu dengan salah satu murid dari :



Yang alhamdulillah dengan izin dari Allah, inti dari pertemuan itu, murid dari Ustad Zen menegaskan "kamu menikah untuk apa?" Saya menjawab sebagai salah satu bentuk ibadah saya kepada Allah SWT. dan beliau lanjut menanyakan "pada saat kamu beribadah, siapa yang kamu dahulukan? manusia atau Allah?" dan karena begitu tingginya posisi Ibu dihadapan Allah maka saya terdiam dan beliau menjadi, Jelas kamu harus mendahulukan Allah SWT. kalau begitu jangan ragu, menikahlah! dan perlahan lahan tetap meminta restu dari Ibumu karena meskipun laki laki bisa menikah tanpa wali, tetapi alangkah lebih baik jika langkah menuju bahtera dan ibadah ini bisa direstui dengan restu ibu.

Dari Abdullah bin ’Amru radhiallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
رِضَى الرَّبِّ فِي رِضَى الوَالِدِ، وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ
Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua.”Hadits riwayat Hakim, ath-Thabrani.
Dari hadits tersebut, bisa diambil kesimpulan bahwa seorang anak wajib berusaha membuat orang tuanya ridha. Dalam hadits tersebut, Rasulullah menyebutkan bahwa ridha Allah bergantung pada ridha orang tua. Sama halnya dengan mencari ridha Allah yang merupakan suatu kewajiban, demikian pula dengan mencari ridha orang tua.

InsyAllah dengan seizin Allah orang tua yang bisa membolak balikan hati manusia, Allah pasti akan memberikan jalan untuk kita semua terutama dalam hal restu.

setiap jalan kehidupan adalah pilihan, dan masing masing dari kita berhak memilih dengan konsekuensinya masing masing. dan semoga kita bisa lebih bijaksana dalam memilih mana yang terbaik untuk diri kita



Comments

Popular Posts